Rabu, 19 Desember 2018

PP 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian 
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, 
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, 
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan 
informasi obat, serta pengembangan 
obat, bahan obat dan obat tradisional.

Pemerintah mengatur pekerjaan kefarmasian dalam 
pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran dan 
pelayanan sediaan farmasi.



  Pekerjaan kefarmasian tersebut di atas harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang 
  mempunyai 
  keahlian dan kewenangan untuk itu. Tenaga kesehatan 
  yang dimaksud adalah apoteker yang telah memiliki 
  STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) dan tenaga 
  teknis kefarmasian yang terdiri atas sarjana farmasi, 
  ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker yang telah 
   memiliki STRTTK (Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian).
  IMPLEMENTASI PP 51/2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN 

  DAN KAITANNYA DENGAN PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN 

  DI BIDANG KESEHATAN

   PENDAHULUAN
   Ada dua pendekatan yang harus dilakukan untuk memahami PP 51 tahun 2009 
   tentang Pekerjaan Kefarmasian sebagai sebuah peraturan perundang-undangan dan 
   implementasinya di bidang kesehatan dan farmasi. Pertama, memahami dan mengerti 
   fungsi, posisi dan materi muatan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. 
   Kedua, memahami definisi dan pengertian berbagai masalah yang diatur dalam peraturan 
   perundang-undangan dimaksud.
   Pertama. Pemahaman yang komprehensif tentang maksud dan tujuan lahirnya suatu 
   peraturan perundang-undangan adalah dengan mengetahui latar belakang dan urgensi 
   lahirnya peraturan-perundang-undangan tersebut.[3] Dari sini dapat ditentukan berbagai 
   peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang dimaksud dan lembaga mana yang 
   mempunyai kewenangan untuk melahirkan berbagai peraturan pelaksanaanya.
   Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan 
   Perundang-Undangan menetapkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
   Undangan adalah sebagai berikut: 
   a. UUD 1945, 
   b. UU/ PERPU, 
   c. Peraturan Pemerintah, 
   d. Peraturan Presiden, 
   e. Peraturan daerah.[4] 

   Selanjutnya dinyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain 
   sebagaimana dimaksud di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan 
   hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang 
   lebih tinggi.[5] Peraturan perundang-undangan selain ‘sebagaimana dimaksud 
   di atas’ adalah peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan menteri, 
   instruksi menteri dan lain-lainnya, yang jika dibuat harus dengan tegas berdasar 
   dan bersumber dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[6]
   Fungsi Peraturan Pemerintah adalah: 
   a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya, 
   b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-Undang 
       yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya. Sedangkan menurut pasal 
       10 UU No. 10 tahun 2004, materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi 
       untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Maksud dari 
      ‘sebagaimana mestinya’ adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah 
      tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang bersangkutan.
   Sesuai dengan pasal 17 UUD 1945, maka fungsi dari Peraturan Menteri 
   adalah sebagai berikut: 
   a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka 
      penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya, 
   b.Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Presiden, 
   c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang 
      yang tegas-tegas menyebutnya, 
   d. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan 
      Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
   Dalam Pedoman no. 173 Lampiran UU No. 10 tahun 2004 dinyatakan 
   bahwa Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada 
   Menteri atau pejabat setingkat menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat 
   teknis administratif.
   Kedua. Peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem komunikasi.[7] 
   Artinya dalam sistem undang-undang terdapat apa yang kita kenal dengan 
   permainan bahasa. 
   Apa yang ada dalam undang-undang selalu mengandung pertanyaan: siapa 
   yang berkomunikasi, untuk siapa dan bagaimana metode komunikasinya dan 
   apa isi dari yang disampaikan tersebut, apa yang menjadi pengganggu dan 
   penghalang dalam melakukan komunikasi atau bagaimana sistem komunikasi 
  dapat dikembangkan.
   Dengan memahami bahwa peraturan perundang-undangan adalah sebuah 
   sistem komunikasi, maka merupakan keniscayaan bagi setiap pengguna 
   peraturan perundang-undangan untuk memahami definisi (definitie) dan 
   pengertian-pengertian (begrip) yang diatur dan dinyatakan dalam peraturan 
   perundang-undangan dimaksud.
   Pada bidang hukum, pembentukan pengertian tidak hanya penting dalam 
   dogmatika hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah 
   undang-undang dimaksudkan untuk mengatur prilaku warga masyarakat, 
   maka harus dibuat jelas prilaku apa yang diharapkan (dituntut) dari mereka.
   Maksud dari penetapan definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah 
   pengertian secermat mungkin, sehingga jelas bagi setiap orang dalam setiap 
   keadaan melaksanakan apa yang diatur sebuah peraturan perundang-undangan.[8] 
   Hal itu mengakibatkan bahwa banyak undang-undang, sebelum pengaturan 
   yang sesungguhnya, memberi batasan pengertian (definisi yuridis) terlebih 
  dahulu tentang pengertian-pengertian yang digunakan dalam undang-undang itu.
   Dalam konteks PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pengertian yang 
   akan dibahas lebih lanjut adalah:
  • Pekerjaan Kefarmasian, Praktik Kefarmasian, Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care).
  • Penempatan istilah tersebut dalam peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.
  • Implikasi definisi yuridis dari istilah-istilah di atas terhadap peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.
   PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN PRAKTEK KEFARMASIAN
   Awal penggunaan istilah yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan atau Praktik 
   Kefarmasian adalah istilah ’Praktek Peracikan Obat’, seperti dimaksud Ordonansi 
   Obat Keras, yang mendefinisikan istilah ’Apoteker’, yaitu: Mereka yang sesuai 
  dengan peraturan-peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk 
  menjalankan Praktek Peracikan Obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker 
  sambil memimpin sebuah apotek. [9]
  Selanjutnya istilah ini berkembang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1963 
  tentang Farmasi yang mendefinisikan “Pekerjaan Kefarmasian“, adalah 
  pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan 
  dan penyerahan obat atau bahan obat. [10]
  Kemudian istilah ini dikembangkan dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang 
  Kesehatan, yang menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah 
  pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, 
  penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep 
  dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat 
  tradisional.[11]
  Selanjutnya UU ini menyatakan  bahwa Pekerjaan Kefarmasian dalam 
  pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan 
  oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, 
  [12] dan mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian 
  ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[13]
  Amanat pada Pasal 63 ayat (2) inilah yang menjadi dasar hukum pembentukan 
  PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang proses penantian 
  hingga lahirnya membutuhkan waktu 17 tahun. Ironisnya, pada saat ketika PP 51 
  diundangkan 1 September 2009, UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga sedang 
  dalam proses pengesahan menjadi Undang-Undang.
  Dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan, istilah Pekerjaan 
  Kefarmasian tidak didefinisikan. Istilah yang digunakan adalah “Praktik Kefarmasian“ 
  yang definisinya tidak dijumpai dalam Ketentuan Umum. Istilah ini digunakan dalam 
  Pasal 108 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Praktik Kefarmasian yang meliputi 
  pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, 
  penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan 
  informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan 
  oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan 
  peraturan perundang-undangan“.
  Selanjutnya diamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian 
  ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[14] Dengan mengacu pada Pasal 203 UU Kesehatan 
  tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan,[15] pertanyaan mendasar yang perlu dijawab 
  berkenaan dengan PP 51 adalah apakah PP ini mengatur tentang Pekerjaan Kefarmasian 
  atau Praktik Kefarmasian?, atau apa implikasi yuridis penggunaan istilah “Praktik 
  Kefarmasian“ pada UU Kesehatan 2009 terhadap Peraturan Pelaksanan dalam 
  bentuk Peraturan Pemerintah seperti diamanatkan Pasal 108 ayat (2) UU Kesehatan tahun 2009?.
  PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga menggunakan secara 
  bergantian istilah Pekerjaan Kefarmasian dan Praktik Kefarmasian dengan maksud 
  menunjuk pengaturan atas subjek dan objek hukum yang sama. Bedanya istilah 
  Pekerjaan Kefarmasian didefinisikan dengan jelas pada Ketentuan Umum, 
  Pasal 1 ayat (1), sedangkan istilah Praktik Kefarmasian tidak didefinisikan.
  Kerancuan ini juga terbaca pada Penjelasan PP 51 tahun 2009 yang menyatakan 
  bahwa “perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian 
  dirasakan belum memadai….“ dan selanjutnya dinyatakan, dalam Peraturan 
  Pemerintah ini diatur Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian.
  PELAYANAN KEFARMASIAN
  Dalam PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dikenalkan 
  istilah “Pelayanan Kefarmasian”, yang didefinisikan sebagai “suatu pelayanan 
  langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan 
  Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu 
  kehidupan pasien”[16].
  Dalam PP ini tidak dijelaskan apa yang dilakukan Apoteker dan atau Tenaga 
  Kefarmasian dalam melaksanakan Pelayanan Kefarmasian. Sedikit penjelasan 
  dapat dilihat dari pengertian Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, yaitu “sarana yang 
  digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi 
  farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama”.[17]
  Pertanyaan akan timbul: apakah Pelayanan Kefarmasian merupakan bagian 
  dari Pekerjaan Kefarmasian, atau Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu bentuk 
  aktifitas apoteker dan atau Tenaga Kefarmasian yang berdiri sendiri?.
  Hal ini akan semakin rancu jika merujuk pada pengertian Apotek dalam PP 51 
  tahun 2009, yang menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian 
  tempat dilakukan Praktek Kefarmasian oleh Apoteker”[18], yang pengertiannya 
  lain dari “mainstream” pengertian Apotek yang selama ini dipahami profesi apoteker, 
  yaitu “suatu tempat tertentu, tempat dilakukan Pekerjaan Kefarmasian dan penyaluran 
  perbekalan farmasi kepada masyarakat”, dan yang berhak melakukan Pekerjaan 
  Kefarmasian adalah Apoteker. Pertanyaan besarnya adalah: Apa yang sebenarnya 
  dilakukan apoteker di apotek?, Pekerjaan Kefarmasian, Praktek Kefarmasian 
  atau Pelayanan Kefarmasian?.
  PP 51 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN APOTEK RAKYAT.
  Pertimbangan untuk melahirkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Apotek Rakyat 
  adalah untuk meningkatkan dan memperluas akses masyarakat dalam memperoleh obat 
  dan atau meningkatkan pelayanan kefarmasian.[19] Permenkes ini menjadikan UU 23 
  tahun 1992 tentang Kesehatan sebagai dasar “Mengingat” dan menyatakan bahwa 
  “Apotek Rakyat” adalah sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan 
  kefarmasian dimana dilakukan penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, dan 
  tidak melakukan peracikan”.[20]
  Pada saat keluarnya Permenkes ini, berbagai ketentuan tentang apotek dan toko 
  obat menjadi rancu dan saling bertabrakan. Tidak ada satupun aturan dan ukuran yang 
  menjadikan dasar yang membedakan apa itu “Apotek Rakyat” dan “Apotek”, apakah 
  Ketenagaan, Omset, Ketersediaan Obat, Lokasi atau lainnya. Yang ada hanyalah 
  perbedaan pelayanan kefarmasian (pekerjaan kefarmasian) yang bisa dilakukan 
  seluruhnya oleh apoteker dan atau tenaga kefarmasian di Apotek, sedangkan di Apotek 
  Rakyat tidak diperkenankan “melakukan peracikan”.
  Jika dilakukan penelusuran terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan 
  yang secara vertikal berada di atas Permenkes tentang Apotek Rakyat, maka tidak ada 
  satu pasalpun yang mengamanatkan pembentukan Apotek Rakyat.
  Jika dikaitkan dengan definisi Apotek Rakyat yang berarti “Sarana Kesehatan…dst”, 
  maka merujuk pada Pasal 1 huruf (4), juncto Pasal 56 ayat (1) UU No. 23 tahun 
  1992 tentang Kesehatan, maka yang disebut dengan “Sarana Kesehatan” adalah: 
  Balai Pengobatan, Pusat Kesehatan Masyarakat, Rumah sakit Umum, Rumah Sakit 
  Khusus, Praktik Dokter, Praktik Dokter Gigi, Praktik Dokter Spesialis, Praktik 
  Dokter Gigi Spesialis, Praktik Bidan, Toko Obat, Apotek, PBF, Pabrik Obat 
  dan Bahan Obat, Laboratorium, Sekolah dan Akademi Kesehatan, Balai 
  Pelatihan Kesehatan dan Sarana Kesehatan lainnya.
  Jika mengacu pada Pasal 19 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan 
  Kefarmasian yang menyatakan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa: 
  1.  Apotek, 
  2.  Instalasi Farmasi Rumah Sakit
  3.  Puskesmas
  4.  Toko Obat; atau 
  5.  Praktek Bersama, 


  maka pada dasarnya keberadaan Apotek Rakyat tidak diakomodir oleh 
  PP 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
  APOTEKER PENANGGUNGJAWAB DAN APOTEKER PENDAMPING.
  Dalam Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, diatur tentang Apoteker Penanggung 
  jawab dan Apoteker Pendamping.[21] Dalam Pasal 54 dinyatakan bahwa setiap 
  Apoteker hanya dapat melaksanakan praktik (sebagai Penanggung Jawab) di 
  1 (satu) apotek, atau Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
  Sedangkan Apoteker Pendamping hanya dapat melaksanakan praktik paling 
  banyak di 3 (tiga) apotek, atau Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. 
  Pertanyaannya adalah, apa yang menjadi tanggung jawab Apoteker Pendamping 
  saat melakukan Pekerjaan Kefarmasian di apotek yang Apoteker Penanggung 
  jawabnya tidak berada di tempat?, dan bagaimana aturan hukumnya jika pada saat 
  yang sama seorang Apoteker Penanggung Jawab juga melakukan pekerjaannya 
  sebagai Apoteker Pendamping di 3 (tiga) Apotek lain?.
  IZIN MELAKUKAN PEKERJAAN KEFARMASIAN
  Berkenaan izin melakukan Pekerjaan Kefarmasian, maka PP 51 tahun 2009 
  mengatur mekanisme sebagai berikut. Pada awalnya, setiap Apoteker harus 
  memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). Kemudian jika Apoteker 
  akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek atau Instalasi Farmasi 
  Rumah Sakit, maka Apoteker tersebut wajib memiliki Surat Izin Praktik 
  Apoteker (SIPA). Jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada 
  fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran, maka Apoteker wajib 
  memiliki Surat Izin Kerja (SIK).
  SERTIFIKAT KOMPETENSI PROFESI.
  PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian mewajibkan dimilikinya 
  Sertifikat Kompetensi Profesi.[22] Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan 
  profesi, dapat memperoleh secara langsung Sertifikat Kompetensi Profesi 
  setelah melakukan registrasi. Sertifikat Kompetensi Profesi ini berlaku selama 
  5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang melalui uji kompetensi profesi.
  Dalam konteks lembaga yang berhak mengeluarkan Sertifikasi Kompetensi 
  Profesi, PP 51 tahun 2009 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang 
  tata cara memperoleh Sertifikat Kompetensi dan tata cara registrasi profesi 
  akan diatur dengan Peraturan Menteri.
  DOKTER DISPENSING DAN SUBSTITUSI OBAT.
  PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian memberikan kebolehan kepada 
  Tenaga Kesehatan diluar Tenaga Kefarmasian[23]. Hal ini tercantum dalam 
  Pasal 22 yang menyatakan: Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, 
  dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai 
  wewenang meracik dan menyerahlan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai 
  dengan peraturan perundang-undangan.
  Di pihak lain, pada Pasal 24 huruf (b) Apoteker juga diberikan kewenangan 
  melakukan penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen
  aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/ atau pasien. 
  Penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya 
  dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pasien yang kurang mampu 
  secara finansial untuk tetap dapat membeli obat dengan mutu yang baik.
  PP 51 TAHUN 2009 DAN ORGANISASI PROFESI
  Organisasi profesi apoteker yang dikenal luas di Indonesia adalah Ikatan Sarjana 
  Farmasi Indonesia (ISFI). Di dalamnya berhimpun organisasi profesi seminat, 
  yaitu HISFARMA untuk kelompok profesi farmasi komunitas (apotek), HISFARSI, 
  untuk kelompok profesi farmasi rumah sakit, dan HISFARIN, untuk kelompok 
  profesi farmasi industri.
  Namun, berbeda dengan organisasi profesi dokter (Ikatan Dokter Indonesia), 
  keberadaan organisasi profesi di dalam PP 51 tahun 2009 tidak didefenisikan dalam 
  ketentuan umum, apakah ISFI atau organisasi profesi apoteker yang lain. Pada 
  Ketentuan Umum,  Pasal 1 angka (19) hanya dinyatakan, Organisasi Profesi adalah 
  organisasi tempat berhimpun para apoteker di Indonesia.
  Di dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, keberadaan organisasi 
  profesi dokter didefinisikan dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf (12), yang
  menyatakan: “Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan 
  Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.
  Dengan dijelaskannya maksud “Organisasi Profesi” pada Ketentuan Umum 
  UU No. 29 tahun 2009 menyebabkan pembaca dan pengguna undang-undang 
  menjadi mengerti bahwa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi 
  yang menetapkan standar pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan.[24]  
  IDI juga mempunyai kewenangan memberikan rekomendasi bagi dokter yang 
  mau mendapatkan Surat Izin Praktik, [25] dan melakukan pembinaan dan pengawasan 
  bagi dokter yang menjalankan praktik kedokteran.[26]
  PP 51 TAHUN 2009 DAN KEWENANGAN ORGANISASI PROFESI
  PP 51 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran memberikan kewenangan kepada 
  organisasi profesi untuk memberikan rekomendasi kepada apoteker untuk mendapatkan 
  Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) bagi yang ingin bekerja di apotek atau di instalasi 
  farmasi rumah sakit dan Surat Izin Kerja (SIK) bagi yang ingin bekerja pada fasilitas 
  produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran.[27]
  Organisasi profesi juga diberikan kewenangan untuk melakukan “audit kefarmasian”, 
  yaitu evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan kefarmasian yang 
  diberikan kepada masyarakat. [28]
  Dalam Pasal 58 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dinyatakan 
  bahwa Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota 
  serta Organisasi profesi apoteker mempunyai kewenangan untuk melakukan 
  pembinaan dan pengawasan bagi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.
  PENUTUP
  Profesi dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang paling beruntung diantara 
  tenaga kesehatan yang ada di Indonesia. Dokter dan dokter gigi memiliki 
  UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang ini mengatur 
  berbagai hal tentang asas dan tujuan praktik kedokteran, pembentukan 
  Konsil Kedokteran, penyelenggaraan praktik kedokteran, pembentukan MKDKI 
  dan pengaturan ketentuan pidana. Dalam materi muatannya diatur tentang hak dan 
  kewajiban dokter dan dokter gigi, hak dan kewajiban pasien dan perlindungan hukum 
  bagi dokter dan dokter gigi yang menyelenggarakan praktik kedokteran.
  Apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya merupakan profesi yang kurang 
  beruntung dikaitkan dengan payung hukum yang mengatur dan melindungi 
  mereka dalam menjalankan profesinya. PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian 
  sama sekali tidak mengatur hak dan kewajiban apoteker/ tenaga 
  kefarmasian dalam menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian.
  Demikian juga PP ini tidak mengatur hak dan kewajiban pasien. Jika terjadi 
  masalah dalam hal penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dan atau 
  sengketa antara apoteker/ tenaga kefarmasian dengan pasien/ masyarakat, 
  maka apoteker dan tenaga kefarmasian tidak mempunyai ketentuan 
  perundangan-undangan yang sifatnya spesialis yang melindungi diri profesi dan usaha mereka.
  Jakarta, 5 Desember 2009.

  [1] Materi disampaikan pada: “Seminar Peningkatan Kompetensi Farmasis”, 
  ISFI Cabang Kota Palembang, 05 Desember 2009. Pilihan judul sesuai dengan proposal panitia.
  [2] Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, adalah Ketua Bidang Usaha 
  BPP ISFI, Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Pengurus Pusat GP 
  Farmasi Indonesia, dan Dosen Universitas Muhammadiyah UHAMKA. 
  Dalam seminar ini penulis bertindak dan berpendapat atas nama pribadi.
  [3] Pasal 1 angka (2) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan 
  Perundang-Undangan: Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis 
  yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
  [4] Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan 
  Perundang-Undangan
  [5] Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan 
  Perundang-Undangan
  [6] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan. Jenis, Fungsi, dan 
  Materi Muatan,  Penerbit Kanisius, Jakarta, Cet. 5, hal. 73, 74
  [7] Anthony Allots, The Limits of Law, Buteerworths, London, 1989, page 5
  [8] J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum
  Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, cetakan 2, hal. 49
  [9] Pasal 1 ayat (1) huruf  (b) Ordonansi Obat Keras, St. 1937 No. 41.
  [10] Pasal 2 huruf (e) Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
  [11] Pasal 1 huruf (13) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
  [12] Pasal 63 ayat (1) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
  [13] Pasal 63 ayat (2) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
  [14] Lihat Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan 2009
  [15]  Pasal 203 UU Kesehatan tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan: 
  “Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan 
  Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan 
  tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”
  [16] Pasal 1 huruf (4) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
  [17] Pasal 1 huruf (11) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
  [18] Pasal 1 huruf (13) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
  [19] Permenkes No. 284/MENKES/PER/III/2007
  [20] Pasal 1 huruf (1) Permenkes No. 284/MENKES/PER/III/2007
  [21] Pasal 14 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
  [22] Pasal 37 dan Pasal 39 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
  [23] Pasal 33 PP 51 tahun 2009, Tenaga Kefarmasian adalah 
   a. Apoteker, b. Tenaga Teknis Kefarmasian, seperti Sarjana Farmasi, 
  Ahli Madya Farmasi, AnalIs Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/ Asisten Apoteker.
  [24] Pasal 28 ayat (2) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
  [25] Pasal 38 ayat (1) huruf (c) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
  [26] Pasal 71 UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
[27] Pasal 55 ayat (1) huruf (c) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
[28] Penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar