Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional.
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional.
Pemerintah mengatur pekerjaan kefarmasian dalam
pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran dan
pelayanan sediaan farmasi.
pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran dan
pelayanan sediaan farmasi.
Pekerjaan kefarmasian tersebut di atas harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu. Tenaga kesehatan
yang dimaksud adalah apoteker yang telah memiliki
STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) dan tenaga
teknis kefarmasian yang terdiri atas sarjana farmasi,
ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker yang telah
memiliki STRTTK (Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian).
IMPLEMENTASI PP 51/2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu. Tenaga kesehatan
yang dimaksud adalah apoteker yang telah memiliki
STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) dan tenaga
teknis kefarmasian yang terdiri atas sarjana farmasi,
ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker yang telah
memiliki STRTTK (Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian).
DAN KAITANNYA DENGAN PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN
DI BIDANG KESEHATAN
PENDAHULUAN
Ada dua pendekatan yang harus dilakukan untuk memahami PP 51 tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian sebagai sebuah peraturan perundang-undangan dan
implementasinya di bidang kesehatan dan farmasi. Pertama, memahami dan mengerti
fungsi, posisi dan materi muatan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan.
Kedua, memahami definisi dan pengertian berbagai masalah yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud.
tentang Pekerjaan Kefarmasian sebagai sebuah peraturan perundang-undangan dan
implementasinya di bidang kesehatan dan farmasi. Pertama, memahami dan mengerti
fungsi, posisi dan materi muatan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan.
Kedua, memahami definisi dan pengertian berbagai masalah yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud.
Pertama. Pemahaman yang komprehensif tentang maksud dan tujuan lahirnya suatu
peraturan perundang-undangan adalah dengan mengetahui latar belakang dan urgensi
lahirnya peraturan-perundang-undangan tersebut.[3] Dari sini dapat ditentukan berbagai
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang dimaksud dan lembaga mana yang
mempunyai kewenangan untuk melahirkan berbagai peraturan pelaksanaanya.
peraturan perundang-undangan adalah dengan mengetahui latar belakang dan urgensi
lahirnya peraturan-perundang-undangan tersebut.[3] Dari sini dapat ditentukan berbagai
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang dimaksud dan lembaga mana yang
mempunyai kewenangan untuk melahirkan berbagai peraturan pelaksanaanya.
Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menetapkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
Undangan adalah sebagai berikut:
a. UUD 1945,
b. UU/ PERPU,
c. Peraturan Pemerintah,
d. Peraturan Presiden,
e. Peraturan daerah.[4]
Selanjutnya dinyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.[5] Peraturan perundang-undangan selain ‘sebagaimana dimaksud
di atas’ adalah peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan menteri,
instruksi menteri dan lain-lainnya, yang jika dibuat harus dengan tegas berdasar
dan bersumber dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[6]
Perundang-Undangan menetapkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
Undangan adalah sebagai berikut:
a. UUD 1945,
b. UU/ PERPU,
c. Peraturan Pemerintah,
d. Peraturan Presiden,
e. Peraturan daerah.[4]
Selanjutnya dinyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.[5] Peraturan perundang-undangan selain ‘sebagaimana dimaksud
di atas’ adalah peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan menteri,
instruksi menteri dan lain-lainnya, yang jika dibuat harus dengan tegas berdasar
dan bersumber dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[6]
Fungsi Peraturan Pemerintah adalah:
a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya,
b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-Undang
yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya. Sedangkan menurut pasal
10 UU No. 10 tahun 2004, materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Maksud dari
‘sebagaimana mestinya’ adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang bersangkutan.
b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-Undang
yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya. Sedangkan menurut pasal
10 UU No. 10 tahun 2004, materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Maksud dari
‘sebagaimana mestinya’ adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang bersangkutan.
Sesuai dengan pasal 17 UUD 1945, maka fungsi dari Peraturan Menteri
adalah sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya,
b.Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Presiden,
c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang
yang tegas-tegas menyebutnya,
d. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
adalah sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya,
b.Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Presiden,
c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang
yang tegas-tegas menyebutnya,
d. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
Dalam Pedoman no. 173 Lampiran UU No. 10 tahun 2004 dinyatakan
bahwa Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada
Menteri atau pejabat setingkat menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat
teknis administratif.
bahwa Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada
Menteri atau pejabat setingkat menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat
teknis administratif.
Kedua. Peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem komunikasi.[7]
Artinya dalam sistem undang-undang terdapat apa yang kita kenal dengan
permainan bahasa.
Apa yang ada dalam undang-undang selalu mengandung pertanyaan: siapa
yang berkomunikasi, untuk siapa dan bagaimana metode komunikasinya dan
apa isi dari yang disampaikan tersebut, apa yang menjadi pengganggu dan
penghalang dalam melakukan komunikasi atau bagaimana sistem komunikasi
dapat dikembangkan.
Artinya dalam sistem undang-undang terdapat apa yang kita kenal dengan
permainan bahasa.
Apa yang ada dalam undang-undang selalu mengandung pertanyaan: siapa
yang berkomunikasi, untuk siapa dan bagaimana metode komunikasinya dan
apa isi dari yang disampaikan tersebut, apa yang menjadi pengganggu dan
penghalang dalam melakukan komunikasi atau bagaimana sistem komunikasi
dapat dikembangkan.
Dengan memahami bahwa peraturan perundang-undangan adalah sebuah
sistem komunikasi, maka merupakan keniscayaan bagi setiap pengguna
peraturan perundang-undangan untuk memahami definisi (definitie) dan
pengertian-pengertian (begrip) yang diatur dan dinyatakan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud.
sistem komunikasi, maka merupakan keniscayaan bagi setiap pengguna
peraturan perundang-undangan untuk memahami definisi (definitie) dan
pengertian-pengertian (begrip) yang diatur dan dinyatakan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud.
Pada bidang hukum, pembentukan pengertian tidak hanya penting dalam
dogmatika hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah
undang-undang dimaksudkan untuk mengatur prilaku warga masyarakat,
maka harus dibuat jelas prilaku apa yang diharapkan (dituntut) dari mereka.
dogmatika hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah
undang-undang dimaksudkan untuk mengatur prilaku warga masyarakat,
maka harus dibuat jelas prilaku apa yang diharapkan (dituntut) dari mereka.
Maksud dari penetapan definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah
pengertian secermat mungkin, sehingga jelas bagi setiap orang dalam setiap
keadaan melaksanakan apa yang diatur sebuah peraturan perundang-undangan.[8]
Hal itu mengakibatkan bahwa banyak undang-undang, sebelum pengaturan
yang sesungguhnya, memberi batasan pengertian (definisi yuridis) terlebih
dahulu tentang pengertian-pengertian yang digunakan dalam undang-undang itu.
pengertian secermat mungkin, sehingga jelas bagi setiap orang dalam setiap
keadaan melaksanakan apa yang diatur sebuah peraturan perundang-undangan.[8]
Hal itu mengakibatkan bahwa banyak undang-undang, sebelum pengaturan
yang sesungguhnya, memberi batasan pengertian (definisi yuridis) terlebih
dahulu tentang pengertian-pengertian yang digunakan dalam undang-undang itu.
Dalam konteks PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pengertian yang
akan dibahas lebih lanjut adalah:
akan dibahas lebih lanjut adalah:
- Pekerjaan Kefarmasian, Praktik Kefarmasian, Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care).
- Penempatan istilah tersebut dalam peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.
- Implikasi definisi yuridis dari istilah-istilah di atas terhadap peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.
PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN PRAKTEK KEFARMASIAN
Awal penggunaan istilah yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan atau Praktik
Kefarmasian adalah istilah ’Praktek Peracikan Obat’, seperti dimaksud Ordonansi
Obat Keras, yang mendefinisikan istilah ’Apoteker’, yaitu: Mereka yang sesuai
dengan peraturan-peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk
menjalankan Praktek Peracikan Obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker
sambil memimpin sebuah apotek. [9]
Kefarmasian adalah istilah ’Praktek Peracikan Obat’, seperti dimaksud Ordonansi
Obat Keras, yang mendefinisikan istilah ’Apoteker’, yaitu: Mereka yang sesuai
dengan peraturan-peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk
menjalankan Praktek Peracikan Obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker
sambil memimpin sebuah apotek. [9]
Selanjutnya istilah ini berkembang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1963
tentang Farmasi yang mendefinisikan “Pekerjaan Kefarmasian“, adalah
pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan
dan penyerahan obat atau bahan obat. [10]
tentang Farmasi yang mendefinisikan “Pekerjaan Kefarmasian“, adalah
pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan
dan penyerahan obat atau bahan obat. [10]
Kemudian istilah ini dikembangkan dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan, yang menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan,
penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat
tradisional.[11]
Kesehatan, yang menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan,
penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat
tradisional.[11]
Selanjutnya UU ini menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian dalam
pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu,
[12] dan mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[13]
pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu,
[12] dan mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[13]
Amanat pada Pasal 63 ayat (2) inilah yang menjadi dasar hukum pembentukan
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang proses penantian
hingga lahirnya membutuhkan waktu 17 tahun. Ironisnya, pada saat ketika PP 51
diundangkan 1 September 2009, UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga sedang
dalam proses pengesahan menjadi Undang-Undang.
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang proses penantian
hingga lahirnya membutuhkan waktu 17 tahun. Ironisnya, pada saat ketika PP 51
diundangkan 1 September 2009, UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga sedang
dalam proses pengesahan menjadi Undang-Undang.
Dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan, istilah Pekerjaan
Kefarmasian tidak didefinisikan. Istilah yang digunakan adalah “Praktik Kefarmasian“
yang definisinya tidak dijumpai dalam Ketentuan Umum. Istilah ini digunakan dalam
Pasal 108 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Praktik Kefarmasian yang meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan“.
Kefarmasian tidak didefinisikan. Istilah yang digunakan adalah “Praktik Kefarmasian“
yang definisinya tidak dijumpai dalam Ketentuan Umum. Istilah ini digunakan dalam
Pasal 108 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Praktik Kefarmasian yang meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan“.
Selanjutnya diamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[14] Dengan mengacu pada Pasal 203 UU Kesehatan
tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan,[15] pertanyaan mendasar yang perlu dijawab
berkenaan dengan PP 51 adalah apakah PP ini mengatur tentang Pekerjaan Kefarmasian
atau Praktik Kefarmasian?, atau apa implikasi yuridis penggunaan istilah “Praktik
Kefarmasian“ pada UU Kesehatan 2009 terhadap Peraturan Pelaksanan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah seperti diamanatkan Pasal 108 ayat (2) UU Kesehatan tahun 2009?.
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[14] Dengan mengacu pada Pasal 203 UU Kesehatan
tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan,[15] pertanyaan mendasar yang perlu dijawab
berkenaan dengan PP 51 adalah apakah PP ini mengatur tentang Pekerjaan Kefarmasian
atau Praktik Kefarmasian?, atau apa implikasi yuridis penggunaan istilah “Praktik
Kefarmasian“ pada UU Kesehatan 2009 terhadap Peraturan Pelaksanan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah seperti diamanatkan Pasal 108 ayat (2) UU Kesehatan tahun 2009?.
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga menggunakan secara
bergantian istilah Pekerjaan Kefarmasian dan Praktik Kefarmasian dengan maksud
menunjuk pengaturan atas subjek dan objek hukum yang sama. Bedanya istilah
Pekerjaan Kefarmasian didefinisikan dengan jelas pada Ketentuan Umum,
Pasal 1 ayat (1), sedangkan istilah Praktik Kefarmasian tidak didefinisikan.
bergantian istilah Pekerjaan Kefarmasian dan Praktik Kefarmasian dengan maksud
menunjuk pengaturan atas subjek dan objek hukum yang sama. Bedanya istilah
Pekerjaan Kefarmasian didefinisikan dengan jelas pada Ketentuan Umum,
Pasal 1 ayat (1), sedangkan istilah Praktik Kefarmasian tidak didefinisikan.
Kerancuan ini juga terbaca pada Penjelasan PP 51 tahun 2009 yang menyatakan
bahwa “perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian
dirasakan belum memadai….“ dan selanjutnya dinyatakan, dalam Peraturan
Pemerintah ini diatur Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian.
bahwa “perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian
dirasakan belum memadai….“ dan selanjutnya dinyatakan, dalam Peraturan
Pemerintah ini diatur Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian.
PELAYANAN KEFARMASIAN
Dalam PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dikenalkan
istilah “Pelayanan Kefarmasian”, yang didefinisikan sebagai “suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan
Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien”[16].
istilah “Pelayanan Kefarmasian”, yang didefinisikan sebagai “suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan
Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien”[16].
Dalam PP ini tidak dijelaskan apa yang dilakukan Apoteker dan atau Tenaga
Kefarmasian dalam melaksanakan Pelayanan Kefarmasian. Sedikit penjelasan
dapat dilihat dari pengertian Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, yaitu “sarana yang
digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi
farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama”.[17]
Kefarmasian dalam melaksanakan Pelayanan Kefarmasian. Sedikit penjelasan
dapat dilihat dari pengertian Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, yaitu “sarana yang
digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi
farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama”.[17]
Pertanyaan akan timbul: apakah Pelayanan Kefarmasian merupakan bagian
dari Pekerjaan Kefarmasian, atau Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu bentuk
aktifitas apoteker dan atau Tenaga Kefarmasian yang berdiri sendiri?.
dari Pekerjaan Kefarmasian, atau Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu bentuk
aktifitas apoteker dan atau Tenaga Kefarmasian yang berdiri sendiri?.
Hal ini akan semakin rancu jika merujuk pada pengertian Apotek dalam PP 51
tahun 2009, yang menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan Praktek Kefarmasian oleh Apoteker”[18], yang pengertiannya
lain dari “mainstream” pengertian Apotek yang selama ini dipahami profesi apoteker,
yaitu “suatu tempat tertentu, tempat dilakukan Pekerjaan Kefarmasian dan penyaluran
perbekalan farmasi kepada masyarakat”, dan yang berhak melakukan Pekerjaan
Kefarmasian adalah Apoteker. Pertanyaan besarnya adalah: Apa yang sebenarnya
dilakukan apoteker di apotek?, Pekerjaan Kefarmasian, Praktek Kefarmasian
atau Pelayanan Kefarmasian?.
tahun 2009, yang menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan Praktek Kefarmasian oleh Apoteker”[18], yang pengertiannya
lain dari “mainstream” pengertian Apotek yang selama ini dipahami profesi apoteker,
yaitu “suatu tempat tertentu, tempat dilakukan Pekerjaan Kefarmasian dan penyaluran
perbekalan farmasi kepada masyarakat”, dan yang berhak melakukan Pekerjaan
Kefarmasian adalah Apoteker. Pertanyaan besarnya adalah: Apa yang sebenarnya
dilakukan apoteker di apotek?, Pekerjaan Kefarmasian, Praktek Kefarmasian
atau Pelayanan Kefarmasian?.
PP 51 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN APOTEK RAKYAT.
Pertimbangan untuk melahirkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Apotek Rakyat
adalah untuk meningkatkan dan memperluas akses masyarakat dalam memperoleh obat
dan atau meningkatkan pelayanan kefarmasian.[19] Permenkes ini menjadikan UU 23
tahun 1992 tentang Kesehatan sebagai dasar “Mengingat” dan menyatakan bahwa
“Apotek Rakyat” adalah sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan
kefarmasian dimana dilakukan penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, dan
tidak melakukan peracikan”.[20]
adalah untuk meningkatkan dan memperluas akses masyarakat dalam memperoleh obat
dan atau meningkatkan pelayanan kefarmasian.[19] Permenkes ini menjadikan UU 23
tahun 1992 tentang Kesehatan sebagai dasar “Mengingat” dan menyatakan bahwa
“Apotek Rakyat” adalah sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan
kefarmasian dimana dilakukan penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, dan
tidak melakukan peracikan”.[20]
Pada saat keluarnya Permenkes ini, berbagai ketentuan tentang apotek dan toko
obat menjadi rancu dan saling bertabrakan. Tidak ada satupun aturan dan ukuran yang
menjadikan dasar yang membedakan apa itu “Apotek Rakyat” dan “Apotek”, apakah
Ketenagaan, Omset, Ketersediaan Obat, Lokasi atau lainnya. Yang ada hanyalah
perbedaan pelayanan kefarmasian (pekerjaan kefarmasian) yang bisa dilakukan
seluruhnya oleh apoteker dan atau tenaga kefarmasian di Apotek, sedangkan di Apotek
Rakyat tidak diperkenankan “melakukan peracikan”.
obat menjadi rancu dan saling bertabrakan. Tidak ada satupun aturan dan ukuran yang
menjadikan dasar yang membedakan apa itu “Apotek Rakyat” dan “Apotek”, apakah
Ketenagaan, Omset, Ketersediaan Obat, Lokasi atau lainnya. Yang ada hanyalah
perbedaan pelayanan kefarmasian (pekerjaan kefarmasian) yang bisa dilakukan
seluruhnya oleh apoteker dan atau tenaga kefarmasian di Apotek, sedangkan di Apotek
Rakyat tidak diperkenankan “melakukan peracikan”.
Jika dilakukan penelusuran terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan
yang secara vertikal berada di atas Permenkes tentang Apotek Rakyat, maka tidak ada
satu pasalpun yang mengamanatkan pembentukan Apotek Rakyat.
yang secara vertikal berada di atas Permenkes tentang Apotek Rakyat, maka tidak ada
satu pasalpun yang mengamanatkan pembentukan Apotek Rakyat.
Jika dikaitkan dengan definisi Apotek Rakyat yang berarti “Sarana Kesehatan…dst”,
maka merujuk pada Pasal 1 huruf (4), juncto Pasal 56 ayat (1) UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan, maka yang disebut dengan “Sarana Kesehatan” adalah:
Balai Pengobatan, Pusat Kesehatan Masyarakat, Rumah sakit Umum, Rumah Sakit
Khusus, Praktik Dokter, Praktik Dokter Gigi, Praktik Dokter Spesialis, Praktik
Dokter Gigi Spesialis, Praktik Bidan, Toko Obat, Apotek, PBF, Pabrik Obat
dan Bahan Obat, Laboratorium, Sekolah dan Akademi Kesehatan, Balai
Pelatihan Kesehatan dan Sarana Kesehatan lainnya.
maka merujuk pada Pasal 1 huruf (4), juncto Pasal 56 ayat (1) UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan, maka yang disebut dengan “Sarana Kesehatan” adalah:
Balai Pengobatan, Pusat Kesehatan Masyarakat, Rumah sakit Umum, Rumah Sakit
Khusus, Praktik Dokter, Praktik Dokter Gigi, Praktik Dokter Spesialis, Praktik
Dokter Gigi Spesialis, Praktik Bidan, Toko Obat, Apotek, PBF, Pabrik Obat
dan Bahan Obat, Laboratorium, Sekolah dan Akademi Kesehatan, Balai
Pelatihan Kesehatan dan Sarana Kesehatan lainnya.
Jika mengacu pada Pasal 19 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian yang menyatakan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa:
Kefarmasian yang menyatakan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa:
- Apotek,
- Instalasi Farmasi Rumah Sakit
- Puskesmas
- Toko Obat; atau
- Praktek Bersama,
maka pada dasarnya keberadaan Apotek Rakyat tidak diakomodir oleh
PP 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
PP 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
APOTEKER PENANGGUNGJAWAB DAN APOTEKER PENDAMPING.
Dalam Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, diatur tentang Apoteker Penanggung
jawab dan Apoteker Pendamping.[21] Dalam Pasal 54 dinyatakan bahwa setiap
Apoteker hanya dapat melaksanakan praktik (sebagai Penanggung Jawab) di
1 (satu) apotek, atau Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
jawab dan Apoteker Pendamping.[21] Dalam Pasal 54 dinyatakan bahwa setiap
Apoteker hanya dapat melaksanakan praktik (sebagai Penanggung Jawab) di
1 (satu) apotek, atau Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
Sedangkan Apoteker Pendamping hanya dapat melaksanakan praktik paling
banyak di 3 (tiga) apotek, atau Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
Pertanyaannya adalah, apa yang menjadi tanggung jawab Apoteker Pendamping
saat melakukan Pekerjaan Kefarmasian di apotek yang Apoteker Penanggung
jawabnya tidak berada di tempat?, dan bagaimana aturan hukumnya jika pada saat
yang sama seorang Apoteker Penanggung Jawab juga melakukan pekerjaannya
sebagai Apoteker Pendamping di 3 (tiga) Apotek lain?.
banyak di 3 (tiga) apotek, atau Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
Pertanyaannya adalah, apa yang menjadi tanggung jawab Apoteker Pendamping
saat melakukan Pekerjaan Kefarmasian di apotek yang Apoteker Penanggung
jawabnya tidak berada di tempat?, dan bagaimana aturan hukumnya jika pada saat
yang sama seorang Apoteker Penanggung Jawab juga melakukan pekerjaannya
sebagai Apoteker Pendamping di 3 (tiga) Apotek lain?.
IZIN MELAKUKAN PEKERJAAN KEFARMASIAN
Berkenaan izin melakukan Pekerjaan Kefarmasian, maka PP 51 tahun 2009
mengatur mekanisme sebagai berikut. Pada awalnya, setiap Apoteker harus
memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). Kemudian jika Apoteker
akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek atau Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, maka Apoteker tersebut wajib memiliki Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA). Jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran, maka Apoteker wajib
memiliki Surat Izin Kerja (SIK).
mengatur mekanisme sebagai berikut. Pada awalnya, setiap Apoteker harus
memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). Kemudian jika Apoteker
akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek atau Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, maka Apoteker tersebut wajib memiliki Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA). Jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran, maka Apoteker wajib
memiliki Surat Izin Kerja (SIK).
SERTIFIKAT KOMPETENSI PROFESI.
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian mewajibkan dimilikinya
Sertifikat Kompetensi Profesi.[22] Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan
profesi, dapat memperoleh secara langsung Sertifikat Kompetensi Profesi
setelah melakukan registrasi. Sertifikat Kompetensi Profesi ini berlaku selama
5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang melalui uji kompetensi profesi.
Sertifikat Kompetensi Profesi.[22] Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan
profesi, dapat memperoleh secara langsung Sertifikat Kompetensi Profesi
setelah melakukan registrasi. Sertifikat Kompetensi Profesi ini berlaku selama
5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang melalui uji kompetensi profesi.
Dalam konteks lembaga yang berhak mengeluarkan Sertifikasi Kompetensi
Profesi, PP 51 tahun 2009 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang
tata cara memperoleh Sertifikat Kompetensi dan tata cara registrasi profesi
akan diatur dengan Peraturan Menteri.
Profesi, PP 51 tahun 2009 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang
tata cara memperoleh Sertifikat Kompetensi dan tata cara registrasi profesi
akan diatur dengan Peraturan Menteri.
DOKTER DISPENSING DAN SUBSTITUSI OBAT.
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian memberikan kebolehan kepada
Tenaga Kesehatan diluar Tenaga Kefarmasian[23]. Hal ini tercantum dalam
Pasal 22 yang menyatakan: Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek,
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai
wewenang meracik dan menyerahlan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Tenaga Kesehatan diluar Tenaga Kefarmasian[23]. Hal ini tercantum dalam
Pasal 22 yang menyatakan: Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek,
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai
wewenang meracik dan menyerahlan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Di pihak lain, pada Pasal 24 huruf (b) Apoteker juga diberikan kewenangan
melakukan penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/ atau pasien.
Penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pasien yang kurang mampu
secara finansial untuk tetap dapat membeli obat dengan mutu yang baik.
melakukan penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/ atau pasien.
Penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pasien yang kurang mampu
secara finansial untuk tetap dapat membeli obat dengan mutu yang baik.
PP 51 TAHUN 2009 DAN ORGANISASI PROFESI
Organisasi profesi apoteker yang dikenal luas di Indonesia adalah Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia (ISFI). Di dalamnya berhimpun organisasi profesi seminat,
yaitu HISFARMA untuk kelompok profesi farmasi komunitas (apotek), HISFARSI,
untuk kelompok profesi farmasi rumah sakit, dan HISFARIN, untuk kelompok
profesi farmasi industri.
Farmasi Indonesia (ISFI). Di dalamnya berhimpun organisasi profesi seminat,
yaitu HISFARMA untuk kelompok profesi farmasi komunitas (apotek), HISFARSI,
untuk kelompok profesi farmasi rumah sakit, dan HISFARIN, untuk kelompok
profesi farmasi industri.
Namun, berbeda dengan organisasi profesi dokter (Ikatan Dokter Indonesia),
keberadaan organisasi profesi di dalam PP 51 tahun 2009 tidak didefenisikan dalam
ketentuan umum, apakah ISFI atau organisasi profesi apoteker yang lain. Pada
Ketentuan Umum, Pasal 1 angka (19) hanya dinyatakan, Organisasi Profesi adalah
organisasi tempat berhimpun para apoteker di Indonesia.
keberadaan organisasi profesi di dalam PP 51 tahun 2009 tidak didefenisikan dalam
ketentuan umum, apakah ISFI atau organisasi profesi apoteker yang lain. Pada
Ketentuan Umum, Pasal 1 angka (19) hanya dinyatakan, Organisasi Profesi adalah
organisasi tempat berhimpun para apoteker di Indonesia.
Di dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, keberadaan organisasi
profesi dokter didefinisikan dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf (12), yang
menyatakan: “Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan
Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.
profesi dokter didefinisikan dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf (12), yang
menyatakan: “Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan
Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.
Dengan dijelaskannya maksud “Organisasi Profesi” pada Ketentuan Umum
UU No. 29 tahun 2009 menyebabkan pembaca dan pengguna undang-undang
menjadi mengerti bahwa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi
yang menetapkan standar pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan.[24]
IDI juga mempunyai kewenangan memberikan rekomendasi bagi dokter yang
mau mendapatkan Surat Izin Praktik, [25] dan melakukan pembinaan dan pengawasan
bagi dokter yang menjalankan praktik kedokteran.[26]
UU No. 29 tahun 2009 menyebabkan pembaca dan pengguna undang-undang
menjadi mengerti bahwa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi
yang menetapkan standar pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan.[24]
IDI juga mempunyai kewenangan memberikan rekomendasi bagi dokter yang
mau mendapatkan Surat Izin Praktik, [25] dan melakukan pembinaan dan pengawasan
bagi dokter yang menjalankan praktik kedokteran.[26]
PP 51 TAHUN 2009 DAN KEWENANGAN ORGANISASI PROFESI
PP 51 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran memberikan kewenangan kepada
organisasi profesi untuk memberikan rekomendasi kepada apoteker untuk mendapatkan
Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) bagi yang ingin bekerja di apotek atau di instalasi
farmasi rumah sakit dan Surat Izin Kerja (SIK) bagi yang ingin bekerja pada fasilitas
produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran.[27]
organisasi profesi untuk memberikan rekomendasi kepada apoteker untuk mendapatkan
Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) bagi yang ingin bekerja di apotek atau di instalasi
farmasi rumah sakit dan Surat Izin Kerja (SIK) bagi yang ingin bekerja pada fasilitas
produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran.[27]
Organisasi profesi juga diberikan kewenangan untuk melakukan “audit kefarmasian”,
yaitu evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan kefarmasian yang
diberikan kepada masyarakat. [28]
yaitu evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan kefarmasian yang
diberikan kepada masyarakat. [28]
Dalam Pasal 58 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dinyatakan
bahwa Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
serta Organisasi profesi apoteker mempunyai kewenangan untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan bagi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.
bahwa Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
serta Organisasi profesi apoteker mempunyai kewenangan untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan bagi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.
PENUTUP
Profesi dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang paling beruntung diantara
tenaga kesehatan yang ada di Indonesia. Dokter dan dokter gigi memiliki
UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang ini mengatur
berbagai hal tentang asas dan tujuan praktik kedokteran, pembentukan
Konsil Kedokteran, penyelenggaraan praktik kedokteran, pembentukan MKDKI
dan pengaturan ketentuan pidana. Dalam materi muatannya diatur tentang hak dan
kewajiban dokter dan dokter gigi, hak dan kewajiban pasien dan perlindungan hukum
bagi dokter dan dokter gigi yang menyelenggarakan praktik kedokteran.
tenaga kesehatan yang ada di Indonesia. Dokter dan dokter gigi memiliki
UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang ini mengatur
berbagai hal tentang asas dan tujuan praktik kedokteran, pembentukan
Konsil Kedokteran, penyelenggaraan praktik kedokteran, pembentukan MKDKI
dan pengaturan ketentuan pidana. Dalam materi muatannya diatur tentang hak dan
kewajiban dokter dan dokter gigi, hak dan kewajiban pasien dan perlindungan hukum
bagi dokter dan dokter gigi yang menyelenggarakan praktik kedokteran.
Apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya merupakan profesi yang kurang
beruntung dikaitkan dengan payung hukum yang mengatur dan melindungi
mereka dalam menjalankan profesinya. PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
sama sekali tidak mengatur hak dan kewajiban apoteker/ tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian.
beruntung dikaitkan dengan payung hukum yang mengatur dan melindungi
mereka dalam menjalankan profesinya. PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
sama sekali tidak mengatur hak dan kewajiban apoteker/ tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian.
Demikian juga PP ini tidak mengatur hak dan kewajiban pasien. Jika terjadi
masalah dalam hal penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dan atau
sengketa antara apoteker/ tenaga kefarmasian dengan pasien/ masyarakat,
maka apoteker dan tenaga kefarmasian tidak mempunyai ketentuan
perundangan-undangan yang sifatnya spesialis yang melindungi diri profesi dan usaha mereka.
masalah dalam hal penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dan atau
sengketa antara apoteker/ tenaga kefarmasian dengan pasien/ masyarakat,
maka apoteker dan tenaga kefarmasian tidak mempunyai ketentuan
perundangan-undangan yang sifatnya spesialis yang melindungi diri profesi dan usaha mereka.
Jakarta, 5 Desember 2009.
[1] Materi disampaikan pada: “Seminar Peningkatan Kompetensi Farmasis”,
ISFI Cabang Kota Palembang, 05 Desember 2009. Pilihan judul sesuai dengan proposal panitia.
ISFI Cabang Kota Palembang, 05 Desember 2009. Pilihan judul sesuai dengan proposal panitia.
[2] Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, adalah Ketua Bidang Usaha
BPP ISFI, Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Pengurus Pusat GP
Farmasi Indonesia, dan Dosen Universitas Muhammadiyah UHAMKA.
Dalam seminar ini penulis bertindak dan berpendapat atas nama pribadi.
BPP ISFI, Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Pengurus Pusat GP
Farmasi Indonesia, dan Dosen Universitas Muhammadiyah UHAMKA.
Dalam seminar ini penulis bertindak dan berpendapat atas nama pribadi.
[3] Pasal 1 angka (2) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan: Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Perundang-Undangan: Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
[6] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan. Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Jakarta, Cet. 5, hal. 73, 74
Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Jakarta, Cet. 5, hal. 73, 74
[7] Anthony Allots, The Limits of Law, Buteerworths, London, 1989, page 5
[8] J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum,
Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, cetakan 2, hal. 49
Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, cetakan 2, hal. 49
[9] Pasal 1 ayat (1) huruf (b) Ordonansi Obat Keras, St. 1937 No. 41.
[10] Pasal 2 huruf (e) Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
[11] Pasal 1 huruf (13) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
[12] Pasal 63 ayat (1) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
[13] Pasal 63 ayat (2) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
[14] Lihat Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan 2009
[15] Pasal 203 UU Kesehatan tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan:
“Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”
“Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”
[16] Pasal 1 huruf (4) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
[17] Pasal 1 huruf (11) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
[18] Pasal 1 huruf (13) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
[19] Permenkes No. 284/MENKES/PER/III/2007
[20] Pasal 1 huruf (1) Permenkes No. 284/MENKES/PER/III/2007
[21] Pasal 14 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
[22] Pasal 37 dan Pasal 39 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
[23] Pasal 33 PP 51 tahun 2009, Tenaga Kefarmasian adalah
a. Apoteker, b. Tenaga Teknis Kefarmasian, seperti Sarjana Farmasi,
Ahli Madya Farmasi, AnalIs Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/ Asisten Apoteker.
a. Apoteker, b. Tenaga Teknis Kefarmasian, seperti Sarjana Farmasi,
Ahli Madya Farmasi, AnalIs Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/ Asisten Apoteker.
[24] Pasal 28 ayat (2) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
[25] Pasal 38 ayat (1) huruf (c) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
[26] Pasal 71 UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
[27] Pasal 55 ayat (1) huruf (c) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
[28] Penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar